Subak, merupakan sistem irigasi yang berbasis petani
(farmer-based irrigation system) dan lembaga yang mandiri (self governmet
irrigation institution). Keberadaan subak yang sudah hampir satu millenium
sampai sekarang ini mengisyaratkan bahwa subak memang adalah sebuah lembaga irigasi
tardisional yang tangguh dan lestari (sustainable) walaupun harus diakui bahwa
eksistansinya kini mulai terancam. Ancaman terhadap kelestarian subak
adalah bersumber dari adanya
perubahan-perubahan dalam berbagai segi kehidupan masyarakat Bali yang
mengiringi derasnya arus globalisasi terutama pembangunan pariwisata Bali.
Bebagai upaya perlu dilakukan untuk memperkuat dan melestarikan eksistensi
subak sebagai warisan budaya yang sangat unik dan dikagumi oleh banyak
pemerhati irigasi di mancanegara.Sebab,
jika subak yang dipandang sebagai salah satu pilar penopang kebudayaan
Bali sampai sirna maka dikhawatirkan stabilitas sosial akan terganggu dan
kelestarian kebudayaan Bali bisa terancam.
Meskipun subak adalah sistemi irigasi yang khas Bali, terutama
karena upacara ritual keagamaan yang senantiasa menyertai setiap aktivitaasnya,
namun ia memiliki nilai-nilai leluhur yang bersifat universal dan sangat
relevan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Nilai-nilai tersebut adalah
falsafah Tri Hita Karana( harmoni antara manusia dengan Sang Pencipta, harmoni
antaramanusia dengan alam, dan harmoni antara manusia dengan manusia) yang
melandasi setiap kegiatan subak. Tri Hita Karana secara implisit
mengandung pesan agar kita mengelola sumberdaya air secara arif untuk menjaga kelestariannya. Oleh karena
itu, subak dapat didefinisikan sebagai lembaga irigasi yang bercorak sosio
religius dan berlandaskan Tri Hita Karana dengan fungsi utamanya adalah
pengelolaa air irigasi untuk memproduksi tanaman pangan khususnya padi dan
palawija Ketiga harmoni tadi
menghasilkan kedisiplinan seluruh anggota Subak di tingkat provinsi dalam
melestarikan sumber daya air di satu daerah aliran sungai.
DAS dari hulu ke
hilir dikelompokkan
menjadi:
1. DAS hulu, sebagai zona tangkapan air, maka
hutan-hutan dijaga agar kemampuan menampung air hujan besar.
2. DAS tengah, sebagai zona konservasi air
dan zona penggunaan air, yang diwujudkan dalam bentuk sistem usahatani
konservasi atau wanatani (agroforestry).
3. DAS hilir, sebagai zona penggunaan air,
di mana sawah irigasi dominan. Subak lokal di DAS hilir mengurus dan
memperhatikan pembagian air irigasi dan pengendalian cara penggunaan air oleh
anggotanya dengan berpedoman kepada awig-awig (peraturan tertulis dan sanksi
atas pelanggaran).
Sistem Subak adalah contoh yang dalam pengelolaan sumber
daya, distribusi, dan penggunaan air irigasi berwawasan kesejahteraan secara
paripurna, yaitu kesejahteraan masyarakat dalam kawasan DAS. Maka dalam proses
pengambilan keputusan seyogianya mempertimbangkan segi politis, ekonomi,
sosial, dan budaya (religi). Multifungsi ekosistem untuk mencapai pembangunan
pertanian yang berkelanjutan (sustainable agricultural development) telah
diimplementasikan dalam sistem Subak.
Subak memenuhi kaidah sebagai sistem irigasi sesuai dengan
“Standar Perencanaan Irigasi” karena berdasarkan fakta di lapangan subak dengan
jaringan irigasinya telah memiliki ke-empat fungsi pokok seperti yang
disyaratkan yaitu :
1. Bangunan
utama disebut empelan (bendung) atau buka(intake)
2. Saluran
disebut telabah (bila berupa saluran terbuka) atauaungan (bila berupa
saluran tertutup).
3. Hamparan
petak-petak yang merupakan bagian dari subak yang disebut Tempek atau
Munduk dilengkapi pula dengan bangunan dan saluran untuk membagi-bagikan
air ke seluruh areal dengan saluran pembuangan yang disebutKekalen
4. Sistem
pembuangan kolektif yang disebut pengutangan juga dimilki subak, yang umumnya
berupa saluran alam (pangkung).
Sistem yg ada pada Subak di Bali, jaringannya hampir sama
dengan jaringan teknis tetapi bangunan dan pengelolaannya berbeda.
1. Bendung pd subak disebut empelan
2. Pemasukan (intake) = bungas
3. Saluran
primer = telabah gede
4. Bangunan
bagi sekunder = tembuku
5. Saluran sekunder = Telabah
6. Bangunan
bagi tersier = tembuku pemaron
7. Saluran
tersier = telabah pemaron
8. Bangunan
bagi kuarter = tembuku cerik
9. Saluran
kuarter = telabah cerik
Dengan demikian kiranya dapat juga disebutkan bahwa sistem
irigasi subak pada dasarnya adalah suatu lembaga adat yang berfungsi untuk
mengelola air irigasi untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat (petani).
Selanjutnya agama Hindu yang berkembang pada saat itu di Bali yang memiliki
konsep THK, yang dianut oleh para raja dan masyarakat setempat, dijadikan juga
sebagai asas dan diterapkan pada sistem subak dalam melakukan kegiatannya untuk
mengelola air irigasi di lahan sawah
Perkembangan/perubahan yang tampak terjadi pada sistem
irigasi subak disebutkan oleh Pusposutardjo (1996) sebagai suatu proses
transformasi sistem irigasi dengan lingkungannya. Kemudian dalam perannya
sebagai pengelola pertanian beririgasi, maka seperti yang dikemukakan
Pusposutardjo (1997), ternyata komponen manusia dalam sistem subak sangat
dominan dalam sistem pengelolaan irigasi, yakni dalam aktifitasnya untuk
mengendalikan pasokan air yang dinamis pada sistem pertanian tersebut.
Adapun hal yang penting dan mendasar dalam kajian ini adalah
berkait dengan peranan subak sebagai institusi adat pendayaguna air, yang
diharapkan mampu memecahkan masalah yang muncul secara integratif melalui
pendekatan sosio kultural di tengahh-tengah arus perkembangan teknologi dan
perubahan sikap hidup manusia.
Bila hal tersebut dapat dilaksanakan secara optimal, maka
manfaat yang kiranya dapat dipetik adalah :
1. Untuk ilmu
pengetahuan akan memperkaya bidang ilmu irigasi, khususnya dalam manajemen
irigasi (irrigation management) melalui hampiran sosio-teknis dengan kasus
subak di Bali yang berlandaskan THK, yang terbukti telah mampu mengembangkan
suatu manajemen pengelolaan sumberdaya air (khususnya irigasi), berdasarkan
pada aturan-aturan tertulisdan norma-norma religius/agama, sehingga dapat
memanfaatkan air (irigasi) untuk kehidupan manusia secara berkelanjutan.
Disamping itu, bermanfaat pula untuk membuktikan kebenaran bahwa sistem irigasi
subak adalah bersifat sosio-teknis, dalam batas-batas tertentu memiliki peluang
untuk ditransformasi ke wilayah lain. Ini berarti akan sekaligus pula
mempercepat proses pembangunan irigasi yang bercirikan THK.
2. Untuk
pembangunan bangsa dan negara, diharapkan hasil kajian ini dapat bermanfaat
bagi pelaksanaan pengelolaan dan pelestarian sumberdaya air di Bali, dan
kawasan lain yang serupa, yang dinilai sudah mengalami krisis air.
3. Memecahkan
permaslahan yakni berupa konflik penggunaan air yang bersifat multi guna,
dengan mengembangkan konsep harmoni dan kebersamaan sesuai dengan hakekat THK
yang melandasi sistem subak.
2. PERANAN SUBAK
DALAM PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN
Di masyarakat ada dua aliran tentang pengelolaan sumber daya
alam, termasuk
sumber daya air:
1. Aliran ekosentrik, yaitu yang lebih
bertitikberat pada kelestarian sumberdaya alam, tanpa peduli kepada kebutuhan
hidup manusia.
2. Aliran antroposentrik, yaitu yang lebih
bertitikberat pada kebutuhan hidup manusia, yang kalau tidak diatur dapat
menjurus ke perusakan sumber daya alam
Alih fungsi lahan pertanian untuk tujuan non-pertanian
merupakan proses yang tidak
terhindarkan. Hal ini disebabkan karena adanya ledakan
jumlah penduduk yang menunutut
pertambahan pemukiman , transportasi, pembangunan industri
dan berbagai prasarana fisik untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia modern yang
semuanya itu niscaya membutuhkan tanah.
Misalnya di Jawa dan Bali, selama periode 1981- 1986 luas
lahan sawah yang telah beralih fungsi mencapai 224.184 ha dengan rata-rata
37.364 ha / tahun. Dari sawah seluas 224.184 ha itu 55,77% masih dipergunakan
sebagai lahan pertanian sedangkan sisanya sebanyak 44,23 % dialih -fungsikan ke
non-pertanian (Nasoetion dan Winoto, 1996 ).
Hasil penelitian JICA seperti dikutip oleh Kurnia, dkk
(1996) menunjukkan bahwa mulai tahun 1991 sampai tahun 2020 diperkirakan
konversi lahan beririgasi di seluruh Indonesia akan mencapai 807.500 ha ( untuk
Jawa sekitar 680.000 ha; Bali 30.000 ha; Sumatera 62.500 ha dan Sulawesi
35.000ha ). Khusus untuk Bali, dalam beberapa tahun belakangan ini areal
persawahan yang telah beralih fungsi diperkirakan mencapai 1.000 ha per tahun.
Penciutan lahan sawah ini sungguh pesat, lebih-lebih di sekitar kota karena
dipicu oleh harga tanah yang meroket, sehingga pemilik sawah tergoda untuk
menjual sawahnya.
Sampai tahun 1999 pencetakan sawah baru dan alih fungsi
lahan berjalan bersamaan. Secara agregat pencetakan sawah baru justru menambah
luas lahan sawah sekitar 1,6 juta ha (Tabel 1). Lahan sawah bukaan baru belum
dimanfaatkan, karena tanah bereaksi masam dan kurang subur, lokasi terpencil
(penduduk jarang) atau konstruksi bangunan irigasi tidak tepat. Tampaknya
aliran antroposentrik yang merasuk ke pelaku pembangunan secara individual atau
korporasi telah menghasilkan pembangunan sistem irigasi yang sia-sia.
Pada era otonomi daerah, alih fungsi lahan lebih
berorientasi ke peningkatan pendapatan asli daerah yang berakibat terhadap
bukan hanya berkurangnya
luas lahan produktif, tetapi juga kerusakan DAS hulu dan
tengah yang berarti
menyia-nyiakan dana yang telah diinvestasikan untuk
membangun jaringan
Alih fungsi lahan sawah beririgasi ke non-pertanian
merupakan proses yang bersifat
irreversible atau tidak dapat balik.Alih fungsi lahan
cenderung diiringi dengan perubahan-perubahan orientasi ekonomi,sosial,budaya
,dan politik masyarakat yang umumnya juga bersifat irreversible (Nasoetion dan
Winoto. 1996). Khusus untuk kasus di Bali, jika penyusutan areal sawah
beririgasi terus berlanjut, dikhawatirkan organisasi subak yang merupakan
warisan leluhur dan sudah terkenal sampai ke manca negara akan terancam punah.
Kalau subak hilang, apakah kebudayaan Bali tidak akan mengalami degradasi
karena diyakini bahwa subak bersama lembaga tradisional lainnya seperti banjar
dan desa adat merupakan tulang punggung kebudayaan Bali. Selain dari pada itu
yang tidak kalah memprihatinkannya adalah jika sawah beririgasi sudah tidak ada
lagi maka lenyap pula fungsi sawah sebagai pengendali banjir dan pelestarian
lingkungan (flood control and environment preservation). Sistem Subak dapat
hilang dan hanya menjadi bagian indah dari sejarah, kalau orientasi pembangunan
pemerintah daerah lebih tercurah ke pembangunan pariwisata (Pitana 2003; Arwata
2003).
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya air, apabila
alih fungsi sawah terjadi di bagian hulu atau tengah dari sistem irigasi, maka
pemilik sawah di bagian hilir akan terkena dampaknya yakni berupa pengurangan
air secara langsung karena dimanfaatkan untuk kepentingan lain atau bisa sama
sekali tidak lagi memperoleh air jika alih fungsi tersebut sampai merusak
saluran dan bangunan irigasi yang ada (Kurnia, dkk. 1996). Guna menghindari
berbagai kerugian dan dampak negatif dari alih fungsi lahan maka daerah-daerah
yang telah memiliki Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) perlu memberlakukan RUTR itu
secara ketat dan konsisten. Bagi daerah-daerah yang belum memilikinya, agar
menyusun RUTR dengan memasukkan potensi dan kebutuhan air pada wilayah yang
bersangkutan. Selanjutnya RUTR yang telah disepakati agar disosialisasikan
kepada masyarakat dan para perancang dan pelaku program pembangunan. Upaya-upaya
lain yang perlu dilakukan dalam rangka pengendalian alih fungsi lahan selain
penyusunan dan pemberlakuan RUTR secara tegas adalah:
(1) Penetapan mekanisme ganti rugi aset negara dan
masyarakat yang terkena alih fungsi
Misalnya fasilitas irigasi yang tidak dapat berfungsi lagi;
dan ganti rugi bagi petani karena air
irgasinya terputus.
(2) Berbagai peraturan dan perundangan yang telah dibuat
oleh pemerintah dalam upaya pengendalian alih fungsi lahan agar benar-benar
ditegakkan secara konsekuen dengan sanksi yang tegas tanpa pandang bulu
terhadap siapa saja yang melanggar.
(3) Jika diizinkan akan ada alih fungsi maka organisasi P3A
beserta PU Pengairan perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan guna
menghindari timbulnya konflik di belakang hari.
Ke depan, pengelolaan sumber daya, distribusi, dan
penggunaan air irigasi supaya menerapkan pendekatan yang berimbang, yaitu
memperhatikan keseimbangan yang harmonis antara aliran ekosentrik dan aliran
antroposentrik, disebut pendekatan eko-antroposentrik.
nesya, ini sumbernya dari buku? ;)
BalasHapustopik nya bagus, tp kurang rapi hhe
BalasHapusmateri yang kamu pake bagus,,,,,,,,,
BalasHapuspostingan yang bagus dari bali...tp bukannya banyak daerah wisata?
BalasHapusmantapppp
BalasHapusnice broo,...
BalasHapusApa subak bisa diterapkan di daerah dataran yang rata atau datar?
BalasHapus